Masa berkesusahan, menderita, kesulitan dalam kehidupan dapat menimpa
siapa saja. Masa-masa itu tidak mengenal musim. Tidak pula mengenal dan
memilih-milih siapa yang akan dikunjunginya. Baik si kaya maupun si
miskin atau yang pas-pasan dapat terjangkit masa-masa sulit. Mereka
dapat datang kapan pun mereka mau. Bahkan hampir selalu mereka datang
tanpa kompromi atau undangan khusus. Mereka datang seperti pencuri yang
mencuri kebahagiaan kita di kala kita terlena.
Suatu kali ada seorang pengendara motor melintas di sebuah jalan raya
yang relatif sepi. Kala itu memang mendung menggelayut tebal di kaki
langit. Pemuda itu berpakaian rapi. Kelihatannya ia dalam perjalanan
seusai menghadiri satu acara. Tiba-tiba pengendara itu menarik gas dan
memacu sepeda motornya dengan kencang.
Usut punya usut, ternyata kala itu gerimis mulai turun. Tak jauh di
belakangnya, sebuah dinding putih berkabut tampak bergerak. Dinding itu
terbentuk dari garis hujan deras. Gerimis adalah kepala hujan yang
mencari jalan untuk dibasahi dengan airnya.
Sekencang-kencangnya motor itu dipacu, tetap saja laju gerimis dapat
mendahuluinya. Terlihat jalanan yang akan dilalui pemuda itu mulai
terbasahi oleh titik-titik air hujan. Pemuda itu seakan tak peduli.
Motornya meraung keras. Lajunya pun makin kencang. Di ujung jalan,
akhirnya dinding hujan itu sudah berhasil menyusul pemuda bersepeda
motor tadi. Masih tampak, bagaimana pakaian parlente itu berwarna makin
gelap. Tanda si pemakainya sudah basah kuyup.
Tanpa disadari, kadang kita pun berperilaku seperti pemuda berpakaian
parlente tadi. Kita ingin melarikan dari kejaran air hujan yang mulai
turun. Kita lalu memacu sepeda motor sekencang-kencangnya demi
menyelamatkan diri dari air hujan yang akan mengguyur tubuh kita. Namun
sekencang apapun kita menjauh dari hujan, kalau kita tidak berteduh atau
memakai jas hujan, toh badan kita akan terguyur hujan pula.
Kiasan itu menggambarkan sikap kita saat menghadapi masa-masa sulit dan
berkesusahan. Tak seorang pun berharap mendapat kesusahan. Tak
seorangpun yang normal berani dengan tegar menantang masa kesusahan itu.
Bahkan banyak orang berdoa agar selalu dijauhkan dari kesusahan itu.
Kalau bisa lari sekencang-kencangnya agar kesusahan itu tak jadi
menghampiri kita.
Sebagaimana datangnya hujan, datangnya masa kesusahan pun tak bisa
ditolak. Tak ada waktu untuk menghindar. Tak ada cara untuk melarikan
diri. Tak ada tempat berteduh. Sebagaimana seorang tamu yang bertandang
ke rumah, tidak ada jalan lain kecuali menerimanya. Suka atau tidak suka
kita harus membukan pintu hati dan mempersilahkan tamu kesusahan itu
masuk. Semasam apapun wajah kita.
Semakin kita melawan semakin kita merasakan perlawanan dari sang
kesusahan. Dia datang bukan untuk dilawan, melainkan harus dipeluk Sakit
memang menerima kunjungan tamu kesusahan. Tiada jalan lain yang lebih
bijak daripada merengkuhnya bak saudara kandung yang mengkhianati kita.
Alangkah bijaknya kalau kita mau memeluk kesusahan itu bak sahabat lama.
Hanya berdamai dengan sang kesusahan maka hidup kita akan relatif
tenang, sekalipun tamu kesusahan sedang menginap di rumah hati kita.
Tamu tidak akan tinggal selamanya di
rumah hati kita. Pada waktunya pulang, dia akan pulang. Dia akan
meninggalkan buah kebajikan sebagai kenangan dan ungkapan terima kasih
pada tuan rumah. Perdamaian itu yang akan membuat hati kita ikhlas untuk
menerima kesusahan sebagaimana kita menyambut kegembiraan. Tidak ada
pilihan lain kecuali berdamai dengan hati yang ikhlas
No comments:
Post a Comment